Lullaby
Genre: Drama, Tragedy
Theme: Friendship
Panjang: 1807 kata
Panjang: 1807 kata
Satu
hari telah berlalu setelah kedatangan Nyonya Masako. Semalaman penuh ia menjagai
putra sulungnya, Taka yang sekarang sudah dipindahkan ke ruangan yang biasa
digunakannya setiap menginap di rumah sakit itu. Semenjak kedatangan Nyonya
Masako, kondisi Taka terlihat membaik. Semua orang turut berbahagia atas hal
tersebut.
“Ibu...”
Taka terbangun dari tidurnya dan melihat Nyonya Masako tertidur berpangku
tangan di sampingnya.
“Kau
sudah bangun, ya?” Nyonya Masako pun terbangun. Wajahnya terlihat begitu
bahagia karena sudah lama sekali ia tidak merasakan kedekatan seperti ini
dengan anaknya.
Taka
pun tersenyum. Kali ini ia merasakan suatu kebahagiaan karena bisa bersama-sama
lagi dengan ibunya. Nyonya Masako mencium keningnya dan tersenyum kepadanya.
Pancaran harapan muncul dari sorot mata ibunya itu. Akan tetapi, bagi Taka,
harapan itu mungkin tidak bisa diwujudkan lagi olehnya.
“Ibu
keluar sebentar ya, sayang,” Kata Nyonya Masako, lalu ia meninggalkan putranya
sendirian.
Nyonya
Masako pun keluar dari ruangan Taka untuk menemui Pak Shinichi yang dari
semalam menunggu di depan ruangan. Kini ia didapati sedang tertidur di bangku
tunggu sambil memeluk sebuah tas ransel hitam. Semalam ia bersikeras untuk ikut
menunggui putranya. Namun ia tidak mau tidur di dalam ruangan, entah mengapa.
“Shinichi!
Bangun...” Nyonya Masako menepuk bahu Pak Shinichi dengan niat untuk
membangunkannya.
“Oh!
Kau, Masako,” Pak Shinichi pun terbangun dengan terlihat sedikit terkejut.
“Di
dalam masih ada banyak tempat. Tidurlah di dalam sambil menemani Taka!”
“Oh!
I-iya. Nanti saja,” hal ini tentunya dikarenakan masih ada rasa gengsi di hati
Pak Shinichi untuk berada bersama mantan istrinya.
“Ngomong-ngomong,
dimana Tomo dan Hiro?”
“M-mereka
sedang di kafetaria. Sarapan,” Pak Shinichi pun kini terlihat begitu canggung,
“Oh iya! Kau belum mandi kan? Mandi dulu sana!”
“Ah
kau ini! Aku tidak bawa baju ganti. Tidak perlu.”
“Ini!”
Pak Shinichi pun menyodorkan tas ransel hitam yang tadi dipeluknya, “Aku
menyuruh Tomo dan Hiro membawakan pakaian beserta alat mandi untukmu.”
“Astaga,”
Nyonya Masako pun membuka tas ransel tersebut dan terkejut karena di dalam tas
itu benar-benar ada satu setel pakaian miliknya beserta alat mandi. Ternyata
masih ada pakaian miliknya di rumah mantan suaminya itu, “T-terima kasih.
Shinichi.”
Nyonya
Masako pun bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan diri setelah seharian
kemarin tidak mandi. Sementara itu, Pak Shinichi masuk ke ruangan Taka. Ia mendapati
putra sulungnya sedang mendengarkan musik, terlihat dari headset yang
dikenakannya sekarang. Headset yang diberikan Toru untuknya.
Melihat
ayahnya memasuki ruangannya, Taka pun melepaskan headsetnya. Ia tersenyum
kepada ayahnya seakan keadaan sedang baik-baik saja.
“Pagi,
nak!” Sapa Pak Shinichi.
“Pagi
ayah!” Taka pun membalas sapaan ayahnya itu.
“Sudah
baikan ya? Aku mendengar lagi suaramu dengan jelas.”
“Mungkin
Yah. Aku tidak tahu.”
“Oh
ya! Aku sudah meminta dokter untuk mulai memberikan kemoterapi lagi kepadamu,”
Pak Shinichi pun mulai menyampaikan rencananya dengan semangat kepada Taka.
Taka
terlihat sangat terkejut. Ia hanya terdiam dan tidak tahu harus berkata apa.
Menurutnya, pengobatan macam apapun sudah tidak mungkin dijalaninya lagi.
Memang kondisinya terlihat lebih baik sekarang, namun ia tidak menjamin jika
masih ada besok untuknya. Sepertinya.
“Kenapa
kau diam saja? Bukankah ini kabar bagus?” Pak Shinichi pun duduk kursi yang
berada di samping ranjang Taka.
“Ayah!
Itu... Kemoterapi itu tidak usah dilakukan.”
“Apa
maksudmu?” Pak Shinichi pun terlihat marah setelah mendengarkan ucapan Taka,
“Itu demi kesembuhanmu. Kau tidak mau sembuh?!”
Taka
pun hanya memalingkan wajahnya dari hadapan ayahnya. Ia tidak tahu harus
mengatakan apa. Ia tidak yakin kalau ayahnya mau mempercayainya. Semalaman ia
tidak bisa benar-benar tidur karena kegelisahan yang dialaminya. Ia merasa
sangat lelah, terutama dalam kehidupan ini. Perasaannya dikuasai oleh keinginan
untuk melepaskan segalanya. Ia lelah dengan alat-alat rumah sakit. Ia lelah
dengan obat. Ia lelah dengan air mata.
“Aku
capek, Yah,” akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan oleh Taka dengan berat hati.
“K-kau
ini,” kini Pak Shinichi kembali meneteskan air matanya. Sepertinya apa yang
dikatakan oleh putranya itu sudah dipahaminya.
“Maafkan
aku. Ayah,” Taka pun kini berani melihat wajah ayahnya.
Beberapa
saat kemudian Tomo dan Hiro masuk ke ruangan Taka. Mereka terlihat sangat akur
dan bahagia. Setidaknya itu yang terlihat di mata Taka.
“Kakak!
Kau sudah bangun!” Hiro pun bersorak gembira sambil mendekati Taka.
“Berjanjilah
kepada kami untuk terus hidup, kakak!” Kata Tomo, menyemangati.
Taka
hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun. Hal yang diinginkannya sudah terwujud,
yaitu melihat seluruh anggota keluarga kecilnya berkumpul lagi.
***
Sementara
itu Toru sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Taka dirawat. Ia
pergi sendirian karena Tomoya dan Ryota tidak bisa dihubungi. Ia menyuruh
mereka berdua untuk menyusul, lewat pesan singkat.
Pikiran
Toru tidak tenang. Entah mengapa, setelah melakukan segala hal yang
menggembirakan kemarin, ia malah merasakan suatu hal yang mengganjal di
hatinya: Suatu perasaan takut. Maka dari itu, ia memutuskan untuk pergi ke
rumah sakit se-pagi mungkin untuk memastikan bahwa tidak akan terjadi suatu hal
yang tidak diinginkannya.
***
Setelah
selesai mandi, Nyonya Masako pun masuk ke dalam ruangan kamar Taka. Ia melihat
semuanya berkumpul. Tiga anak laki-lakinya dan mantan suaminya berada dalam
satu ruangan. Oh, andaikan saja ini terjadi untuk seterusnya, pasti ia akan
sangat bahagia, batinnya.
“Ibu!!!”
Hiro pun kini berteriak sambil berlari untuk memeluk ibunya.
“Hei!
Hiro! Jangan berteriak begitu! Ini kan rumah sakit!” Kata Tomo dengan sinis.
“Uh!
Kak Tomo memang menjengkelkan!” sahut Hiro lalu menjulurkan lidahnya sebagai tanda
bahwa ia tidak peduli.
“Sudahlah!
Kalian jangan bertengkar!” Kata Taka dengan nada lembut. Sudah lama sekali ia
tidak seperti itu.
Hiro
pun terus memeluk ibunya. Ia ingin sekali dimanja oleh ibunya setelah sekian
lama tidak bisa bertemu dengan wanita itu. Ia merasakan sebuah kebahagiaan yang
luar biasa di sisi ibunya, apalagi setelah semuanya berkumpul.
“Ibu.
Kembalilah bersama kami!” Tomo pun berjalan menghampiri ibunya. Ia memohon.
Dengan berlutut. Menangis.
Pak
Shinichi yang menyaksikan itu semua pun merasakan perasaan haru yang sangat
dalam. Ia tidak bisa menahannya lagi. Ia pun menutupi wajanya dengan kedua
telapak tangannya sambil menumpahkan air matanya. Ia tidak tahu apakah ini hal
yang membahagiakan atau malah menyedihkan.
Taka
merasa sangat lega dan bahagia. Inilah yang dikehendakinya selama ini. Namun
dibalik kelegaan hatinya, dadanya justru terasa sangat sesak. Begitu panas.
Begitu sakit.
UHUK!!!
Taka
pun terbatuk. Terbatuk seperti setiap saat penyakitnya kambuh. Ia sulit untuk
bernafas meskipun sudah memakai selang pernafasan. Rasanya sakit sekali, nyeri
hingga seluruh tubuhnya. Kepalanya sakit dan tidak ada apapun yang bisa
dilakukannya untuk mengendalikan tubuhnya. Dan lagi-lagi, batuknya mengeluarkan
darah.
Seisi
ruangan pun menjadi sangat panik. Kebahagiaan yang sempat dirasakan tadi
terpecah menjadi rasa takut yang luar biasa. Pak Shinichi pun memanggil tim
medis lewat telepon darurat, dan Nyonya Masako pun berusaha menenangkan Taka
dengan menyeka keringat dingin di wajahnya beserta darah di telapak tangan dan
bibirnya. Sementara itu, Tomo dan Hiro terpaku pada posisi mereka masing-masing
sambil menagis. Mereka merasakan suatu hal yang salah dalam keadaan ini.
Dokter
dan tim medis pun datang. Mereka meminta Pak Shinichi dan lainnya untuk
menunggu di luar. Sepertinya kondisi Taka kali ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Sesaat
kemudian, Toru pun sampai di koridor depan ruangan Taka. Ia terkejut karena Pak
Shinichi, Nyona Masako, Tomo dan Hiro sedang berada di sana. Mereka berempat
terlihat begitu sedih dan panik. Wajah Toru yang tadinya bersemangat karena
ingin melihat sahabatnya yang sempat terlihat membaik itu seketika berubah
menjadi suram. Ia dipenuhi rasa ketakutan. Ini yang tidak diinginkannya.
“Toru,
jangan masuk dulu!” Pak Shinichi pun mengisyaratkan agar Toru menunggu dulu
bersama mereka sementara dokter dan timnya menangani Taka.
Toru
menundukkan kepalanya, dan hanya terdiam mematung di tempatnya. Lalu Tomoya dan
Ryota pun datang. Mereka terkejut seketika setelah melihat semua yang berada di
depan ruangan Taka. Nampak sekali rasa takut yang mereka rasakan. Tomoya pun
menepuk bahu Toru, namun ia justru terjatuh berlutut. Kaki Toru terasa begitu
lemas hingga tidak bisa menopang tubuh dan juga perasaan sedihnya.
“Toru!”
Tomoya pun berusaha mengangkat tubuh Toru dan memapahnya menuju bangku tunggu
di koridor itu, “duduklah disini!”
“Kemarin
dia baik-baik saja,” kata Toru, lirih.
Semua
yang berada di sana merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh
Toru. Kemarin Taka terlihat baik-baik saja, bahkan hingga beberapa saat yang
lalu. Pemuda itu justru sudah memperlihatkan kondisi yang semakin membaik, namun
apa yang barusan terjadi sungguh berbeda jauh. Semua yang melihatnya merasa
seperti menaiki sebuah roller coaster, dan
dijatuhkan dari ketinggian ke dalam perut bumi.
Beberapa
saat, dokter yang menangani Taka keluar dari ruangan. Ia mengijinkan semuanya
untuk masuk. Wajahnya terlihat begitu putus asa setelah ketegangan yang
dirasakan ketika berusaha menangani Taka, pasien yang sudah selama dua tahun lebih
ditanganinya. Memang kini Taka terlihat begitu tenang, namun itu bukanlah
ketenangan yang membahagiakan. Ia hafal betul dengan apa yang terjadi.
Wajah
Taka terlihat begitu pucat, dan sorot matanya terlihat begitu lelah. Sepertinya
benar apa yang dikatakannya, bahwa ia sudah lelah.
Nyonya
Masako dan Pak Shinichi pun berdiri di samping anak sulung mereka Sementara
itu, yang lainnya berada tepat di hadapan Taka. Mereka terlihat begitu sedih
karena hawa ruangan itu sudah berubah, yang tadinya hawa bahagia menjadi hawa
sedih. Toru yang sudah tidak kuat melihat salah satu sahabatnya dalam keadaan
seperti itu malah menyendiri di sudut ruangan. Ia tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Semua yang diinginkan Taka berada di ruangan itu. Tak terkecuali.
“Ibu,
tolong nyanyikan aku lagu pengantar tidur!” Pinta Taka dengan suara lirihnya, “Selama
ini aku tidak bisa tidur karena tidak ada ibu disampingku. Biasanya ibu
memelukku ketika semua terasa dingin, ketika aku merasa nyeri, dan ibu yang
menenangkanku ketika aku tidak sanggup menghirup udara.”
“Sudahlah,
nak! Kau tidak boleh banyak berbicara!” Pak Shinichi pun berusaha menginterupsi
perkataan Taka.
Taka
pun tersenyum lemah tanpa memperdulikan perkataan ayahnya. Ia pun menggenggam
tangan kedua orang tuanya dan meletakkannya di atas dadanya. Ia mengisyaratkan
bahwa semuanya harus kembali bersatu. Kedua orang tuanya harus kembali bersama.
“Dan
aku, hanya ingin tidur. Melupakan rasa sakit ini,” Taka melanjutkan
perkataannya. Permohonannya.
Dengan
sedikit berat hati karena perkataan anak sulungnya yang membuatnya sangat
terkejut sekaligus takut, Pak Shinichi pun memutuskan untuk bernyanyi bersama dengan
Nyonya Masako. Kali ini ia yang mengajaknya. Hingga akhirnya mereka berdua
bernyanyi bersama, disusul dengan nyanyian berbisik dari Toru yang didapati
sedang menangis di sudut kamar itu. Mereka menyanyikan lagu pengantar tidur
yang paling disukai oleh Taka sejak kecil.
“Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are!
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky.
Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are!
When the blazing sun is gone,
When he nothing shines upon,
Then you show your little light,
Twinkle, twinkle all the night.
Twinkle, twinkle little star,
How I wonder what you are!”
Pada
akhir bait kedua lagu itu, Taka pun tertidur. Ia memejamkan matanya dengan sangat
tenang dan melupakan segala rasa sakit yang dirasakannya selama ini. Ia
merasakan perasaan damai yang sudah lama sekali tidak dirasakannya, hal yang
dirindukannya.
- “Kalian! Teruslah bersama sampai kapanpun!
Aku akan selalu ada buat kalian! Di dalam hati kalian bertiga! Aku berjanji.”
Setidaknya itulah yang diingat Toru, Tomoya dan Ryota. Itulah yang diinginkan
Taka setelah apa yang mereka lalui selama ini. Itulah janji yang diberikannya
kepada tiga sahabatnya. Janji yang diucapkannya di atas gedung rumah sakit. Di
suatu ketinggian. Dekat dengan langit.-
(THE END)
p.s: Dilarang keras copas tanpa menyertakan sumber!
NOTE from The Author:
Makasih buat semua yang udah baca fanfiction gue yang berjudul "Lullaby" ini. Yah, fanfiction ini memang nggak berbau "cerita pas konser" atau apapun yang biasa dilakukan band2 pada umumnya. Gue cuma ngangkat tema persahabatan dan kehidupan yang tiba-tiba tersirat di pikiran gue. Ya, ini fanfiction buat One Ok Rock. I don't know what to say, mungkin gue sendiri yang mellow sehingga melahirkan cerita seperti ini. Sekali lagi, INI FIKSI LHO YA!
Uh, dan ilustrasi gambar di fanfiction ini pada part/chapter yang ke 2, 3, 5, 6 dan 7 adalah hasil karya tangan gue yang gatel pengen nggambar. Maaf kalo jelek atau gimana. Gue memang suka design tapi baru suka gambar manual akhir-akhir ini *tepatnya setelah lulusan SMA setahun lalu*, jadi bikin ilustrasi di fanfiction ini sendiri adalah cara gue buat latihan menggambar. Hehehe.
Maaf banget kalo ceritanya gimana-gimana, jelek atau kurang berkenan buat kalian. Gue bikin segala macem cerita berdasarkan dengan apa yang sedang tersirat di pikiran gue *secara tiba2, dan itu selalu absurd*. Tapi makasih banyak buat yang sudah baca :)
Selanjutnya, gue bakal ngelanjutin fanfiction Besties yang merupakan fanfiction buat Sleeping With Sirens yang sebenernya udah setahun lebih nggak gue lanjutin. Kalo mau start baca bisa klik di link berikut ini: Besties chapter 1. Oh ya! Gue bakalan lanjutin juga SONG FICTION yang udah gue mulai beberapa bulan lalu. Terus gue bakal lanjutin review2 lagu atau album musik lagi.
Thanks all!
ELISABETH DYAH AYU CINTAMI WISNUGROHO
Baca juga Song Fiction "Heartache"
Baca juga cerita fiksi lainnya, disini.
Back to part 6
Hai ...
ReplyDeleteaku pembaca baru ff kamu ..
Aku lagi nahan untuk ga nangis diakhir cerita ini ..
Makasiih sudah buat cerita yg begituuuuu baper!
Salam kenal n tetap lanjut nulisnya yaa
Halo...
DeleteMakasi yak udh baca ff absurd ini... huhu :')
Makasi jg udh baper #eh hehe...